Pers dan Imaji Revolusi
JJ Rizal[1]
Deru kereta api yang melintasi desa dan
sawah serta terus menerus muncul menjadi lonceng pemberitahuan kepada penduduk
Hindia Belanda bahwa periode kapitalisme modern telah tiba. Saat itu, daun
kalender menunjuk angka tahun 1870. Jalur kereta api pertama di Jawa yang
menghubungkan Semarang dan Surakarta milik perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg (NIS) yang
semula mengangkut gula, dibuka bagi bisnis angkut manusia.
Selain manusia di antara komoditi
terpenting yang diangkut melalui jalur kereta api itu dari Surakarta adalah Bromartani, surat kabar berbahasa Jawa yang
diterbitkan oleh CF Winter yang adalah seorang Indo kelahiran Yogyakarta pada
1855 dan disebut Sartono Kartodirdjo sebagai perintis dalam pers pribumi. Surat
kabar ini dibaca, diedarkan, dan dilanggan oleh segmen elite Jawa yang paling
terpengaruh peradaban Barat dan juga oleh orang-orang Indo serta Tionghoa.
Surat kabar ini menjadi forum baru bagi aktivitas kesusasteraan Jawa serta
segala kegiatan budaya yang diabaikan juga dikesampingkan para Javanolog
Belanda, kelompok yang saat itu tengah sibuk-sibuknya meredefinisi seraya
mengkontruksi masa lalu dan kebudayaan Jawa.
Dalam konteks itu tidak ada yang dapat
lebih jelas menggambarkan transformasi budaya yang sedang terjadi di Surakarta
itu daripada R. Ng. Ranggawarsita, pujangga istana Kesunanan Surakarta yang
tidak terpakai lagi karena urusan legitimasi budaya telah diberikan kepada para
Javanolog Belanda. Tulisan-tulisannyanya tidak lagi disebarkan di lingkungan
penghuni istana, juga ditulis tangan tetapi dinikmati oleh para anggota
komunitas elite Jawa modern dan orang-orang Indo-Jawa-Tionghoa serta
disebarluaskan dengan budaya cetak di Bromartani.
Menjelang kematiannya pada 1873, Ranggawarsita telah menulis syair Kala Tida atau zaman gelap dimana Jawa dalam masa dimana
hari depannya tinggal lorong tanpa harapan, raja tidak berdaya dan telah
kehilangan kekuatan sabda kebijaksanaan.
Bromartani memang tidak memiliki pembaca sebanyak
penumpang kereta api Semarang-Surakarta yang hanya dalam waktu lima tahun
setelah dibuka mencapai hampir 900.000 manusia diangkut saban tahunnya. Tetapi
dengan menumpang kereta api, saban pagi Bromartani
dari Surakarta mampu membawa suara dari Ranggawarsita yang penuh kengerian itu
menderu melengking menghampiri para pembacanya hingga ke Semarang, tempat
dimana surat kabar berbahasa Belanda De
Locomotief yang didirintis oleh E.
Herman de Groot pada 1851 lahir dan tumbuh sebagaimana disebut Abdurrachman
Surjomihardjo menjadi pers yang besar pengaruhnya bagi pembaruan politik
kolonial.
Pada 1894 jumlah penumpang deretan
gerbong telah mencapai hampir 6.000.000. Saat itu pula kereta api sudah
menghubungkan banyak kota-kota penting di Jawa yang diiringi pertumbuhan pers
seperti jamur di musim hujan—menyambut permintaan akan informasi yang tidak
lain karena telah meningkatnya jumlah kaum terpelajar dan yang tak kurang
penting meluasnya cakrawala perhatian atau pun empathy masalah di sekeliling pembaca tinggal. Saat itulah suara
Ranggawarsita bergema lebih luas lagi, menyelip di antara berita-berita luar
negeri, iklan atau pengumuman dan telah bertranformasi sebagai realitas baru. Bahasa
pers sebagai sistem komunikasi terbuka kaum terpelajar dan modern
mendefinisikannya sebagai kesadaran akan keterbelakangan beserta perasaan
inferior yang menyertai krisis. Begitulah pesan Ranggawarsita ditafsirkan ihwal
Jawa dalam kaliyuga (zaman
kehancuran) dan harus dikembalikan kepada krtayuga
(zaman keemasan) melalui sabda pandita
ratu zaman baru. Rumusan kepemimpinan modern harus dikemukakan sebab raja
sudah kehilangan otoritas sehingga kata-katanya tidak lagi mengandung mantra, dan
di zaman baru itu sabda pandita ratu
dengan cepat menyerah pada perkataan baru: “koran
bilang”.
Pers telah menciptakan forum bebas
untuk merumuskan pendapat dan pikiran, menumbuhkan kesadaran kolektif. Robert
van Niel yang meriset tentang awal munculnya elite modern di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 menyebut elite modern itu
telah mengemukakan pemikirannya dalam frase cahaya. Sebab memang itulah yang
mendominasi jiwa dan pikiran elite awal kebangkitan nasional, zaan gelap
diganti ke zaman terang Lagi pula antara 1900-1925, bukan saja para tokoh
utamanya yang mengambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang—ingat Kartini
dengan bukunya Habis Gelap Terbitlah
Terang—tapi juga banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite
baru itu mengambil nama dengan mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya dan api. Semua kias ini adalah tanda-tanda
yang lebih luas dari kebangkitan kembali dan regenerasi.
Para elite sebagai minoritas kreatif hadir dengan kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika dalam publikasi elite di awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradok kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perobahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide yang diliputi sifat muda, maju dan sadar.
Muda tak hanya usia biologis para elite itu duapuluhan, bahkan belasan. Tapi juga pemikiran dan kejiwaannya yang diliputi spirit merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tercermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka “nasionalisme Hindia” dengan Soetatmo Soerjokoesoemo, ketua Komite Nasionalisme Jawa.
Bayangan masyarakat baru memacu para elite bersikap maju. Nah, maju itu adalah hasrat menemukan kembali harkat diri. Tapi buat maju disadari ada kolonialisme dan feodalisme berdasar ras dan kelas. Tak ayal demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat buat maju. Sebab itu pada 1912 mencuat Sarekat Islam, ‘gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch’ ala ratu adil bermassa terbesar anti penindasan dan keangkuhan rasial. Pada 1918, segera meluas motto Mas Marco “sama rata sama rasa”. Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hirarkis. Bagaimana bisa masuk “dunia maju” yang bertolak dari teori sosial yang egaliter dan demokratis jika tatanan tradisional yang hirarkis masih bercokol?
Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar. Semula sadar berarti peralihan dari keadaan tertidur kepada rasa siuman. Persis kias sohor ethicus Belanda, “Si jelita yang tertidur telah terjaga”. Tapi, di awal abad ke-20, sadar meluas artinya. Kalau baca otobiografi Soetomo, Kenang-kenangan, sadar punya pengertian-pengertian yang saling berkaitan. Pertama “daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo–sahabat Soetomo–dijelaskan “menjadi motor pendorong”. Kala pemuda jadi motor pendorong perobahan, maka harus dijalani dengan ngurban. Ini kata Jawa dengan pegertian moral dan emosional yang dalam, berarti “bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar adalah “perubahan perangai” yang dirumuskan sebagai terus dalam suasana “memperlombakan diri berjaga dengan batin” dan “menerima [itu] sebagai kewajiban moril”.
Dalam konteks itu ada kesejajaran pemikiran Soetomo dengan
Tjipto, sosok yang mengidentifikasi diri sebagai satria yang memenuhi panggilan
moril berjuang melawan kebobrokan moril. Menurut Tjipto, dalam berjuang melawan
kebejatan moril penjajahan Belanda dan priyayi feodal dihadang kesulitan, tapi
semua itu kudu diterjang sebab cuma dengan begitu, maka tercipta ksatria dan
dialah yang patut disebut “orang Hindia”. Dengan mengaitkan panggilan moril dan
identifikasi sebagai “orang Hindia”, Tjipto telah menambahkan nilai yang
menentukan dalam periode yang disebut “the decade of identities” yang
dimulai sejak Abdul Rivai pada 1900 mempertanyakan, “siapakah kita?”. Bagi
Tjipto pokok soalnya bukan identifikasi diri, tapi peningkatan harkat diri dan
pengingkaran terhadap segala hal yang berlawanan dengan keadilan.
Identifikasi
sebagai satria itu pula yang membawa minoritas kreatif memainkan fungsi
perwakilan, menggantikan para penguasa Jawa yang menyebut diri mereka
Pakubuwono atau pasak jagad raya dan Hamengkubuwono alias pemangku jagad raya
tetapi sudah lama kehilangan kekuatan sabda
pandita ratu, malah terasa sangat kerdil. Sebab itu melalui pers minoritas
kreatif telah mengidentifikasi sebagai pusat otoritas baru yang mewakili suara
masyarakat. Maka tidak mengherankan bahwa unsur khas yang sangat disukai
sebagai nama surat kabar selain mengambil kias cahaya adalah suara, seperti Soeara Merdika, Soeara Ra’jat, atau Soeara Oemoem. Melalui suatu proses
ganjil lintas gema, para minoritas kreatif yang mayoritas adalah jurnalis berbicara
secara stereofonik dalam keheningan tentang keadaan mengantikan sabda para
raja.
Pada
1914 dengan diterbitkannya Doeniea
Bergerak oleh Mas Marco Kartodikromo yang mengharukan dan berani sekali,
dapat dilihat sesuatu yang sangat penting sedang berlangsung. Pada 1917
menyusul terbit Islam Bergerak, pada
1920 Boeroeh Bergerak dan pada 1923 Ra’jat Bergerak. Dalam kurun inilah
lahir neologisme yang mengagumkan dalam bahasa Indonesia, yaitu pergerakan. Secara luar biasa cepat pergerakan menjadi kata yang meliputi keseluruhan
aktivitas politik anti-kolonial. Bagi semua minoritas kreatif yang aktif dari
aliran apapun yang lahir antara 1885 sampai 1915 kebanggaan meraka atau lencana bintang terbaik seumur hidup bagi
meraka adalah menjadi orang pergerakan
dan ikut berbareng bergerak. Terlibat
dalam pergerakan berarti sadar atau bewust. Keadaran dan pergerakan
bergandengan tangan dan semua berkat sirkulasi surat kabar, jasa si deretan
gerbong yang membelah-belah Jawa, juga Sumatra.
Pada
1920, Haji Misbach si tokoh yang digelari ‘Haji Merah’ berbicara dalam suatu
rapat umum di Surakarta tentang yang disebut djaman balik boeno. Misbach berkutat dengan djaman balik boeono yang diperkenalkan Ranggawarsita sebagai ‘zaman
kekacauan dan malapetaka’ itu sebelumnya supaya pada masanya bisa dibalik
menjadi ‘zaman keadilan’. Misbach mewakili aspirasi semangat secara kolektif
‘menjungkir balikan dunia’. Dalam pembicaraannya ini Misbach memberi arahan
pada tujuan pergerakan yaitu
menjungkirbalikan dunia, sebab hanya dengan begitu “ini tanah air kombali pada
kita lagi”. Kata-kata ini mempunyai implikasi hadirnya bayangan atau imaji
revolusioner. Kata-kata ini telah menyumbang bahwa bahasa pers mewakili
aspirasi rakyat dan “bercondong ke masa depan” dan dengan begitu menarik orang
ke dalam gerakan yang akan menegaskan masa depan itu, kalau perlu malah dengan
menjungkirbalikan dunia. Cobalah renungkan pada 1914 tidak ada orang di Hindia
Belanda yang menyaksikan sebuah verkiezing
(pemilihan umum) atau sebuah revolutie
(revolusi).
Istilah-istilah
klassenstrijd (perjuangan kelas) dan feodalisme (feodalisme) secara tidak
langsung menyiratkan suatu jaringan pikiran sosiologis yang abstrak dan
sepenuhnya asing bagi bahasa ibu di Nusantara. Begitu juga kata politicus, voordrach alias pidato
politik, nasionalis, machvorming,
vergadering, lezing, actie, partij, socialistisch, komunistisch bagaimanpun membentuk pola dan ikatan
pengetahuan bersama di kalangan pribumi. Tjokraminoto yang memakai istilah
dalam pers “kapitalisme jang haram”.
Pendek kata dengan demikian adalah universalisme dunia bergerak yang merupakan ciri paling
mencolok dari pembentukan pola yang dipimpin surat kabar dalam dua dasawarsa
awal abad ke-20. Orang dapat membayangkan apa yang disebut orang pergerakan dan atau sorang revolusioner dan atau seorang nasionalis serta apa yang
mesti mereka lakukan, serta dirasakan dengan pidato-pidatonya di rapat-rapat
umum sebagai sri panggung baru selain bintang komedi stambul atau tonil yang sohor
di itu ketika.
Demikianlah, sungguh tak ternilai sumbangan pers dalam memperbesar volume informasi, meningkatkan intensitas komunikasi, mempercepat sirkulasi ide, serta membuka alam pikiran bahkan tentang yang paling radikal yang maujud dalam kata revolusi. Itu semua membuat pemikiran dan kesadaran dari minoritas kreatif secara kumulatif mendukung mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, gerakan kemajuan dan akhirnya gerakan nasional dalam pelbagai warna atau dan aliran. Pergerakan nasional dan pers pribumi dapat diibaratkan sebagai kembar siam, dua bidang kegiatan bangsa yang berdampingan secara simbiotik, ada saling ketergantungan secara organik yang satu sukar mempertahankan eksistensinya tanpa yang lain.
Apabila
pergerakan nasional dapat dipandang sebagai proses mobilisasi rakyat oleh
minoritas kreatif untuk berpartisipasi dalam perjuangan mewujudkan cita-cita
nasional, hal itu berarti bahwa fungsi pokok pergerakan itu lewat
organisasi-organisasinya ialah mensosialisasikan politik di kalangan rakyat.
Meskipun telah ada kesempatan mengadakan perkumpulan atau pun pertemuan besar
atau pun muktamar, namun kesempatan itu masih terbatas, sedang forum yang oleh
media massa adalah kontinyu dan intensif, sehingga penggarapan kesadaran dapat
terlaksana secara lebih efektif.
Sebagai
media massa, surat kabar Indonesia dapat menciptakan fantasi-fantasi revolusi
yang jauh melampaui batas-batas arena politik yang pada waktu itu terbatas pada
organisasi-organisasi pergerakan saja. Hal inilah yang kemudian sejak dini, di
awal abad ke-20, penindasan pers yang terkenal sebagai haatzaai artikelen—karangan penyebar kebencian, diperhadapkan
kepada pers yang menjadi bagian pergerakan kebangsaan. Tetapi terhadap pesan
politik yang tidak langsung atau terselubung yang membangkitkan fantasi
revolusi penguasa kolonial tidak berdaya sama sekali. Bagaimanapun juga, arus
informasi mengenai kejadian-kejadian politik semakin meluas dan deras dengan
akibat bahwa kesadaran pembaca semakin membesar, kata-kata di dalamnya telah
mendorong bahwa segala hal itu mungkin, apa-apa boleh dibayangkan dalam
imajinasi bahkan yang paling revolusioner terkait suatu bangsa yang tengah
diimajinasikan.
[1] Materi untuk Seminar
Nasional “Dinamika Pers Dalam Perspektif Sejarah Nasional Indonesia” di
Universitas Nusantara PGRI Kediri, Jawa Timur oleh Ikahimsi (Ikatan Himpunan
Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia) Regional
III Jawa Timur, 25 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar