Rabu, 08 Januari 2014

SEMINAR NASIONAL IKAHIMSI



Pers dan Imaji Revolusi

JJ Rizal[1]

Deru kereta api yang melintasi desa dan sawah serta terus menerus muncul menjadi lonceng pemberitahuan kepada penduduk Hindia Belanda bahwa periode kapitalisme modern telah tiba. Saat itu, daun kalender menunjuk angka tahun 1870. Jalur kereta api pertama di Jawa yang menghubungkan Semarang dan Surakarta milik perusahaan swasta Nederlandsch Indische Spoorweg (NIS) yang semula mengangkut gula, dibuka bagi bisnis angkut manusia.

Selain manusia di antara komoditi terpenting yang diangkut melalui jalur kereta api itu dari Surakarta adalah Bromartani, surat kabar berbahasa Jawa yang diterbitkan oleh CF Winter yang adalah seorang Indo kelahiran Yogyakarta pada 1855 dan disebut Sartono Kartodirdjo sebagai perintis dalam pers pribumi. Surat kabar ini dibaca, diedarkan, dan dilanggan oleh segmen elite Jawa yang paling terpengaruh peradaban Barat dan juga oleh orang-orang Indo serta Tionghoa. Surat kabar ini menjadi forum baru bagi aktivitas kesusasteraan Jawa serta segala kegiatan budaya yang diabaikan juga dikesampingkan para Javanolog Belanda, kelompok yang saat itu tengah sibuk-sibuknya meredefinisi seraya mengkontruksi masa lalu dan kebudayaan Jawa.

Dalam konteks itu tidak ada yang dapat lebih jelas menggambarkan transformasi budaya yang sedang terjadi di Surakarta itu daripada R. Ng. Ranggawarsita, pujangga istana Kesunanan Surakarta yang tidak terpakai lagi karena urusan legitimasi budaya telah diberikan kepada para Javanolog Belanda. Tulisan-tulisannyanya tidak lagi disebarkan di lingkungan penghuni istana, juga ditulis tangan tetapi dinikmati oleh para anggota komunitas elite Jawa modern dan orang-orang Indo-Jawa-Tionghoa serta disebarluaskan dengan budaya cetak di Bromartani. Menjelang kematiannya pada 1873, Ranggawarsita telah menulis syair Kala Tida  atau zaman gelap dimana Jawa dalam masa dimana hari depannya tinggal lorong tanpa harapan, raja tidak berdaya dan telah kehilangan kekuatan sabda kebijaksanaan.

Bromartani memang tidak memiliki pembaca sebanyak penumpang kereta api Semarang-Surakarta yang hanya dalam waktu lima tahun setelah dibuka mencapai hampir 900.000 manusia diangkut saban tahunnya. Tetapi dengan menumpang kereta api, saban pagi Bromartani dari Surakarta mampu membawa suara dari Ranggawarsita yang penuh kengerian itu menderu melengking menghampiri para pembacanya hingga ke Semarang, tempat dimana surat kabar berbahasa Belanda De Locomotief  yang didirintis oleh E. Herman de Groot pada 1851 lahir dan tumbuh sebagaimana disebut Abdurrachman Surjomihardjo menjadi pers yang besar pengaruhnya bagi pembaruan politik kolonial.

Pada 1894 jumlah penumpang deretan gerbong telah mencapai hampir 6.000.000. Saat itu pula kereta api sudah menghubungkan banyak kota-kota penting di Jawa yang diiringi pertumbuhan pers seperti jamur di musim hujan—menyambut permintaan akan informasi yang tidak lain karena telah meningkatnya jumlah kaum terpelajar dan yang tak kurang penting meluasnya cakrawala perhatian atau pun empathy masalah di sekeliling pembaca tinggal. Saat itulah suara Ranggawarsita bergema lebih luas lagi, menyelip di antara berita-berita luar negeri, iklan atau pengumuman dan telah bertranformasi sebagai realitas baru. Bahasa pers sebagai sistem komunikasi terbuka kaum terpelajar dan modern mendefinisikannya sebagai kesadaran akan keterbelakangan beserta perasaan inferior yang menyertai krisis. Begitulah pesan Ranggawarsita ditafsirkan ihwal Jawa dalam kaliyuga (zaman kehancuran) dan harus dikembalikan kepada krtayuga (zaman keemasan) melalui sabda pandita ratu zaman baru. Rumusan kepemimpinan modern harus dikemukakan sebab raja sudah kehilangan otoritas sehingga kata-katanya tidak lagi mengandung mantra, dan di zaman baru itu sabda pandita ratu dengan cepat menyerah pada perkataan baru: “koran bilang”.

Pers telah menciptakan forum bebas untuk merumuskan pendapat dan pikiran, menumbuhkan kesadaran kolektif. Robert van Niel yang meriset tentang awal munculnya elite modern di Hindia Belanda  pada awal abad ke-20 menyebut elite modern itu telah mengemukakan pemikirannya dalam frase cahaya. Sebab memang itulah yang mendominasi jiwa dan pikiran elite awal kebangkitan nasional, zaan gelap diganti ke zaman terang Lagi pula antara 1900-1925, bukan saja para tokoh utamanya yang mengambarkan pemikiran dengan kias bersifat terang—ingat Kartini dengan bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang—tapi juga banyak pers yang tumbuh mengiringi politik modern elite baru itu mengambil nama dengan mencomot kata matahari, surya, bintang, fajar, nyala, suluh, sinar, cahaya dan api. Semua kias ini adalah tanda-tanda yang lebih luas dari kebangkitan kembali dan regenerasi.

Para elite sebagai minoritas kreatif hadir dengan kias bersifat terang bukan saja simbol untuk menguatkan citra diri, tapi juga dikotomi yang lebih bersifat moral, politik dan perbedaan generasi. Wajar jika dalam publikasi elite di awal kebangkitan diwarnai teriak lantang paradok kata: muda/tua, maju/kolot dan sadar/masih bodoh. Dalam perspektif itu, para elite sampai pada kesadaran fundamental akan perobahan. Alhasil 20 tahun awal abad ke-20 pergerakan Indonesia begitu dinamis, kaya ide yang diliputi sifat muda, maju dan sadar.

Muda tak hanya usia biologis para elite itu duapuluhan, bahkan belasan. Tapi juga pemikiran dan kejiwaannya yang diliputi spirit merombak struktur masyarakat lama untuk menciptakan suasana dan masyarakat baru yang bebas dari stigma kultural yang menghambat. Ini tercermin dalam polemik tahun 1914 antara pendiri Indische Partij (IP) dengan Noto Soeroto, motor ide Hindia terus di bawah Belanda. Juga polemik tahun 1918 antara Tjipto Mangoenkoesoemo sebagai pimpinan terkemuka “nasionalisme Hindia” dengan Soetatmo Soerjokoesoemo, ketua Komite Nasionalisme Jawa.

Bayangan masyarakat baru memacu para elite bersikap maju. Nah, maju itu adalah hasrat menemukan kembali harkat diri. Tapi buat maju disadari ada kolonialisme dan feodalisme berdasar ras dan kelas. Tak ayal demokrasi pun dirasakan jadi bagian esensial hasrat buat maju. Sebab itu pada 1912 mencuat Sarekat Islam, ‘gerakan nationalistisch-demokratisch-ekonomisch’ ala ratu adil bermassa terbesar anti penindasan dan keangkuhan rasial. Pada 1918, segera meluas motto Mas Marco “sama rata sama rasa”. Berbareng hadir gerakan Djawa Dipa melawan keharusan tradisional yang hirarkis. Bagaimana bisa masuk “dunia maju” yang bertolak dari teori sosial yang egaliter dan demokratis jika tatanan tradisional yang hirarkis masih bercokol?

Akhirnya semua mesti dilakukan dengan sadar. Semula sadar berarti peralihan dari keadaan tertidur kepada rasa siuman. Persis kias sohor ethicus Belanda, “Si jelita yang tertidur telah terjaga”. Tapi, di awal abad ke-20, sadar meluas artinya. Kalau baca otobiografi Soetomo, Kenang-kenangan, sadar punya pengertian-pengertian yang saling berkaitan. Pertama “daya” yang oleh Goenawan Mangoenkoesoemo–sahabat Soetomo–dijelaskan “menjadi motor pendorong”. Kala pemuda jadi motor pendorong perobahan, maka harus dijalani dengan ngurban. Ini kata Jawa dengan pegertian moral dan emosional yang dalam, berarti “bertindak tanpa pamrih”. Akhirnya sadar adalah “perubahan perangai” yang dirumuskan sebagai terus dalam suasana “memperlombakan diri berjaga dengan batin” dan “menerima [itu] sebagai kewajiban moril”.

Dalam konteks itu ada kesejajaran pemikiran Soetomo dengan Tjipto, sosok yang mengidentifikasi diri sebagai satria yang memenuhi panggilan moril berjuang melawan kebobrokan moril. Menurut Tjipto, dalam berjuang melawan kebejatan moril penjajahan Belanda dan priyayi feodal dihadang kesulitan, tapi semua itu kudu diterjang sebab cuma dengan begitu, maka tercipta ksatria dan dialah yang patut disebut “orang Hindia”. Dengan mengaitkan panggilan moril dan identifikasi sebagai “orang Hindia”, Tjipto telah menambahkan nilai yang menentukan dalam periode yang disebut “the decade of identities” yang dimulai sejak Abdul Rivai pada 1900 mempertanyakan, “siapakah kita?”. Bagi Tjipto pokok soalnya bukan identifikasi diri, tapi peningkatan harkat diri dan pengingkaran terhadap segala hal yang berlawanan dengan keadilan.

Identifikasi sebagai satria itu pula yang membawa minoritas kreatif memainkan fungsi perwakilan, menggantikan para penguasa Jawa yang menyebut diri mereka Pakubuwono atau pasak jagad raya dan Hamengkubuwono alias pemangku jagad raya tetapi sudah lama kehilangan kekuatan sabda pandita ratu, malah terasa sangat kerdil. Sebab itu melalui pers minoritas kreatif telah mengidentifikasi sebagai pusat otoritas baru yang mewakili suara masyarakat. Maka tidak mengherankan bahwa unsur khas yang sangat disukai sebagai nama surat kabar selain mengambil kias cahaya adalah suara, seperti Soeara Merdika, Soeara Ra’jat, atau Soeara Oemoem. Melalui suatu proses ganjil lintas gema, para minoritas kreatif yang mayoritas adalah jurnalis berbicara secara stereofonik dalam keheningan tentang keadaan mengantikan sabda para raja.
Pada 1914 dengan diterbitkannya Doeniea Bergerak oleh Mas Marco Kartodikromo yang mengharukan dan berani sekali, dapat dilihat sesuatu yang sangat penting sedang berlangsung. Pada 1917 menyusul terbit Islam Bergerak, pada 1920 Boeroeh Bergerak dan pada 1923 Ra’jat Bergerak. Dalam kurun inilah lahir neologisme yang mengagumkan dalam bahasa Indonesia, yaitu pergerakan. Secara luar biasa cepat pergerakan menjadi kata yang meliputi keseluruhan aktivitas politik anti-kolonial. Bagi semua minoritas kreatif yang aktif dari aliran apapun yang lahir antara 1885 sampai 1915 kebanggaan meraka atau  lencana bintang terbaik seumur hidup bagi meraka adalah menjadi orang pergerakan dan ikut berbareng bergerak. Terlibat dalam pergerakan berarti sadar atau bewust. Keadaran dan pergerakan bergandengan tangan dan semua berkat sirkulasi surat kabar, jasa si deretan gerbong yang membelah-belah Jawa, juga Sumatra.
Pada 1920, Haji Misbach si tokoh yang digelari ‘Haji Merah’ berbicara dalam suatu rapat umum di Surakarta tentang yang disebut djaman balik boeno. Misbach berkutat dengan djaman balik boeono yang diperkenalkan Ranggawarsita sebagai ‘zaman kekacauan dan malapetaka’ itu sebelumnya supaya pada masanya bisa dibalik menjadi ‘zaman keadilan’. Misbach mewakili aspirasi semangat secara kolektif ‘menjungkir balikan dunia’. Dalam pembicaraannya ini Misbach memberi arahan pada tujuan pergerakan yaitu menjungkirbalikan dunia, sebab hanya dengan begitu “ini tanah air kombali pada kita lagi”. Kata-kata ini mempunyai implikasi hadirnya bayangan atau imaji revolusioner. Kata-kata ini telah menyumbang bahwa bahasa pers mewakili aspirasi rakyat dan “bercondong ke masa depan” dan dengan begitu menarik orang ke dalam gerakan yang akan menegaskan masa depan itu, kalau perlu malah dengan menjungkirbalikan dunia. Cobalah renungkan pada 1914 tidak ada orang di Hindia Belanda yang menyaksikan sebuah verkiezing (pemilihan umum) atau sebuah revolutie (revolusi).
Istilah-istilah klassenstrijd (perjuangan kelas) dan feodalisme (feodalisme) secara tidak langsung menyiratkan suatu jaringan pikiran sosiologis yang abstrak dan sepenuhnya asing bagi bahasa ibu di Nusantara. Begitu juga kata politicus, voordrach alias pidato politik, nasionalis, machvorming, vergadering, lezing, actie, partij, socialistisch, komunistisch  bagaimanpun membentuk pola dan ikatan pengetahuan bersama di kalangan pribumi. Tjokraminoto yang memakai istilah dalam pers “kapitalisme jang haram”. Pendek kata dengan demikian adalah universalisme  dunia bergerak yang merupakan ciri paling mencolok dari pembentukan pola yang dipimpin surat kabar dalam dua dasawarsa awal abad ke-20. Orang dapat membayangkan apa yang disebut orang pergerakan dan atau sorang revolusioner  dan atau seorang nasionalis serta apa yang mesti mereka lakukan, serta dirasakan dengan pidato-pidatonya di rapat-rapat umum sebagai sri panggung baru selain bintang komedi stambul atau tonil yang sohor di itu ketika.

Demikianlah, sungguh tak ternilai sumbangan pers dalam memperbesar volume informasi, meningkatkan intensitas komunikasi, mempercepat sirkulasi ide, serta membuka alam pikiran bahkan tentang yang paling radikal yang maujud dalam kata revolusi. Itu semua membuat pemikiran dan kesadaran dari minoritas kreatif secara kumulatif mendukung mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi dalam gerakan emansipasi, gerakan kemajuan dan akhirnya gerakan nasional dalam pelbagai warna atau dan aliran. Pergerakan nasional dan pers pribumi dapat diibaratkan sebagai kembar siam, dua bidang kegiatan bangsa yang berdampingan secara simbiotik, ada saling ketergantungan secara organik yang satu sukar mempertahankan eksistensinya tanpa yang lain.
Apabila pergerakan nasional dapat dipandang sebagai proses mobilisasi rakyat oleh minoritas kreatif untuk berpartisipasi dalam perjuangan mewujudkan cita-cita nasional, hal itu berarti bahwa fungsi pokok pergerakan itu lewat organisasi-organisasinya ialah mensosialisasikan politik di kalangan rakyat. Meskipun telah ada kesempatan mengadakan perkumpulan atau pun pertemuan besar atau pun muktamar, namun kesempatan itu masih terbatas, sedang forum yang oleh media massa adalah kontinyu dan intensif, sehingga penggarapan kesadaran dapat terlaksana secara lebih efektif.
Sebagai media massa, surat kabar Indonesia dapat menciptakan fantasi-fantasi revolusi yang jauh melampaui batas-batas arena politik yang pada waktu itu terbatas pada organisasi-organisasi pergerakan saja. Hal inilah yang kemudian sejak dini, di awal abad ke-20, penindasan pers yang terkenal sebagai haatzaai artikelen—karangan penyebar kebencian, diperhadapkan kepada pers yang menjadi bagian pergerakan kebangsaan. Tetapi terhadap pesan politik yang tidak langsung atau terselubung yang membangkitkan fantasi revolusi penguasa kolonial tidak berdaya sama sekali. Bagaimanapun juga, arus informasi mengenai kejadian-kejadian politik semakin meluas dan deras dengan akibat bahwa kesadaran pembaca semakin membesar, kata-kata di dalamnya telah mendorong bahwa segala hal itu mungkin, apa-apa boleh dibayangkan dalam imajinasi bahkan yang paling revolusioner terkait suatu bangsa yang tengah diimajinasikan.


[1] Materi untuk Seminar Nasional “Dinamika Pers Dalam Perspektif Sejarah Nasional Indonesia” di Universitas Nusantara PGRI Kediri, Jawa Timur oleh Ikahimsi (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah  Se-Indonesia) Regional III Jawa Timur, 25 Mei 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar